PENGEMBANGAN INDUSTRI PETERNAKAN
SAPI POTONG
Perbibitan
Kesulitan
dalam memperoleh bibit sapi potong lokal secara kuantitas maupun
kualitas secara berkelanjutan merupakan masalah utama yang harus segera
diselesaikan. Kesulitan ini tampaknya lebih disebabkan oleh banyak
faktor yang saling terkait. Mencari permasalahan tentang kesulitan
tersebut sudah banyak dilakukan dan sering pula didiskusikan, tapi aksi
untuk menyelesaikan kesulitan tersebut kurang/ belum dilakukan. Oleh
karena itu, secara umum beberapa kebijakan yang seharusnya segera
diimplementasikan dalam kegiatan aksi mutlak diperlukan.
Beberapa upaya pengembangan usaha perbibitan adalah:
1. Penentuan jenis ternak sapi.
Di
Indonesia, berbagai jenis ternak sapi yang ada diklasifikan menjadi dua
kelompok besar (Simanjuntak, 1999). Seluruh sapi di dalam masing-masing
kelompok berpotensi dijadikan sebagai ternak bibit yang tentu saja
didasarkan pada berbagai faktor. Pertama, kelompok sapi asli yang
meliputi: sapi Bali, sapi Madura, sapi Sumba Ongole (SO), sapi Peranakan
Ongole (PO), sapi Pesisir, sapi Aceh, dan sapi Hissar. Kedua, kelompok
sapi persilangan dengan bangsa sapi import yang meliputi: sapi
Simmental, sapi Limousin, sapi Angus, sapi Brahman, sapi Brangus.
Pada
umumnya, keunggulan yang dimilik oleh sapi lokal Indonesia adalah: daya
adaptasi tinggi; tingkat kesuburan tinggi, persentase karkas lebih
tinggi, dapat digunakan sebagai tenaga kerja; dan daya tahan terhadap
caplak. Adapun sapi persilangan biasanya unggul dalam hal: pertumbuhan
bobot badan yang tinggi; dan mempunyai kualitas daging lebih baik.
Keduanya juga memiliki kelemahan. Kerugian bila menggunakan sapi lokal
sebagai ternak bibit
K
Dr. Ir. Muladno, MSA
adalah: kematian
pedet relatif tinggi; masih memperlihatkan sifat liar, rentan terhadap
penyakit tertentu; badannya kecil; dan pertambahan bobot badan relatif
rendah. Namun bila menggunakan ternak bibit import, kerugiannya
meliputi: tidak tahan terhadap kondisi lingkungan jelek dan rentan
terhadap berbagai penyakit yang ada di daerah tropis.
Yang perlu
diperhatikan dalam penentuan jenis ternak tidak hanya berdasarkan
sifat-sifat kuantitatif yang menguntungkan saja tetapi juga
dipertimbangkan sifat kualitatifnya seperti warna sapi.
2. Perbaikan mutu ternak bibit
Untuk
mendapatkan ternak bibit yang baik, upaya meningkatkan mutu ternak
bibit khususnya bila menggunakan ternak lokal perlu dilakukan. Di dalam
program pemuliaan, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan mutu tersebut, yaitu: seleksi dan persilangan. Pendekatan
pertama (seleksi) untuk sifat kuantitatif yang bernilai ekonomis
(seperti pertambahan berat badan, efisiensi penggunaan pakan, dan
kualitas karkas) harus dilakukan di suatu wilayah yang populasi sapinya
sejenis dan dalam jumlah banyak. Kondisi semacam ini harus dicapai untuk
memperoleh tingkat keberhasilan yang tinggi dalam sistem seleksi,
karena semakin tinggi jumlah ternak dalam suatu populasi, intensitas
seleksinya juga semakin kuat sehingga ternak yang terseleksi benar-benar
bermutu tinggi. Seleksi juga penting diterapkan dalam konteks pemilihan
ternak betina pengganti (replacement stock) bagi ternak betina
berkualitas buruk dan atau ternak betina tua. Pendekatan kedua
(persilangan) akan sangat efektif dilakukan melalui perkawinan antara
ternak lokal yang terseleksi untuk sifat-sifat kuantititaf yang
diinginkan dengan ternak import yang juga telah diseleksi berdasarkan
sifat yang diinginkan. Ini dapat dilakukan melalui perkawainan alam,
tetapi akan lebih efisien dengan memanfaatkan teknik inseminasi buatan.
Walaupun aplikasi bio-teknologi (baik reproduksi maupun rekayasa
genetik) dalam pening-katan produktivitas ternak tampak semakin
menjajikan, tingginya biaya pengoperasian masih menjadi kendala untuk
menggunakan teknologi tersebut. Dalam banyak hal, penerapan bioteknologi
masih sangat memerlukan peran dan bantuan pemerintah pusat.
Program
pemuliaan tersebut akan dapat berjalan dengan baik apabila didukung
dengan sistem pencatatan yang tertib, sistematis, dan berkesinambungan.
Sistem pencatatan difokuskan pada sifat-sifat kuantitatif penting dari
ternak dan dibuat sedemikian rupa sehingga dapat diterapkan secara mudah
oleh peternak, pegawai pemerintah dan siapapun yang dilibatkan.
Keterlibatan asosiasi, kelompok peternak, perguruan tinggi atau lembaga
penelitian sangat diperlukan untuk keberhasilan dalam pencatatan
tersebut.
Kumpulan Pemikiran
3. Perbanyakan jumlah ternak bibit
Penyediaan
ternak bibit lokal sebagai populasi dasar dapat dipenuhi melalui
pengambilan ternak dari berbagai wilayah yang dikenal sebagai
kantong-kantong ternak berpopulasi tinggi atau diperoleh melalui Unit
Pelaksana Teknis (UPT) milik pemerintah seperti Balai Inseminasi Buatan
(BIB) Singosari dan BIB Lembang. Dari ketersediaan ternak pilihan ini,
kemudian dilakukan program pemuliaan di suatu kawasan yang melibatkan
petani peternak dalam suatu sistem pembibitan Village Breeding Center
(VBC). Sistem ini akan lebih efektif apabila dalam pelaksanaannya
dikelola melalui program kemitraan antara swasta (sebagai pemodal),
peternak (sebagai pelak-sana) dan pemerintah/perguruan tinggi/lembaga
penelitian/asosiasi (sebagai pembina). Program semacam ini juga
diharapkan agar seluruh ternak bibit yang dihasilkan dari program
pemeuliaan ini dapat secara berkesinambungan digunakan sebagai bahan
dasar untuk perbanyakan sehingga pemenuhan kebutuhan ternak bibit yang
berkualitas secara terus menerus dapat terjamin.
4. Peredaran ternak bibit
Peredaran
ini mencakup ternak bibit jantan maupun betina. Namun, karena
penyediaan ternak bibit jantan dapat dilakukan melalui BIB Lembang atau
BIB Singosari, sistem peredaran ternak bibit perlu difokuskan untuk
ternak betina. Ternak bibit betina di sini didefinisikan sebagai ternak
betina yang dipelihara hanya untuk menghasilkan pedet beberapa kali
sampai betina tersebut dinyatakan tidak berfungsi lagi secara
reproduktif. Dengan demikian, pola pengelolaannya mirip atau harus
disamakan dengan pola yang digunakan pada ternak bibit jantan. Sistem
pencatatan ternak ternak bibit betina, sertifikasi mutu, maupun standard
minimal penampilannya perlu dilakukan secara sistematis dan
berkelanjutan oleh perguruan tinggi atau lembaga penelitian atau
asosiasi. Dengan dikembangkannya sistem tersebut, harga ternak bibit
betina diharapkan akan menjadi lebih tinggi daripada ternak betina
potong. Tanpa indikator kuantitatif yang jelas terhadap penampilan atau
kinerja ternak bibit betina, upaya menghargai ternak bibit betina lebih
daripada ternak betina potong akan sia-sia.
Untuk itu, peredaran
ternak bibit betina harus terkontrol. Informasi tentang jumlah dan jenis
ternak yang diedarkan, lokasi penyebaran (luar kota atau luar pulau
atau bahkan luar negeri) harus tercatat dengan baik; dan yang lebih
penting perlu disusunnya pedoman pengedaran ternak bibit betina oleh
pemerintah bersama dengan lembaga independen lainnya yang peduli
terhadap kesinambungan pengadaan ternak bibit betina.
Dr. Ir. Muladno, MSA
5. Pembinaan dan pengawasan mutu
Kenyataan
selama ini menunjukkan bahwa program pemerintah melalui berbagai proyek
memang memberikan hasil yang cukup menggembirakan tetapi masih perlu
dioptimalkan. Adanya misi sosial dan konsep pemerataan pembangunan yang
dipikul pemerintah sedikit banyak mempengaruhi pelaksanaan berbagai
program pemerintah selama ini. Oleh karena itu, peran sektor swasta
perlu lebih digalakkan dalam upaya membangunan industri ternak bibit.
Pemerintah dapat lebih berperan sebagai pengawas atau pembina yang
dengan otoritas-nya mengontrol mutu ternak bibit. Namun, akan lebih
efektif apabila pengawasan mutu ternak bibit melibatkan peran swasta
juga. Sertifikasi yang berkaitan dengan upaya pengawasan mutu dapat
dilakukan swasta atas sepengetahuan/seijin pemerintah.
Skala Usaha Peternakan Sapi Potong
Lebih
dari 90% peternak sapi potong di Indonesia adalah peternak rakyat yang
merupakan usaha sambilan dan bukan sebagai usaha pokok. Ciri khas dari
peternakan rakyat setidaknya adalah: (a) skala usaha relatif kecil (b)
merupakan usaha rumah tangga (c) cara memeliharanya masih tradisional;
dan seringkali ternak digunakan sebagai sumber tenaga kerja. Artinya
peternak tidak mengangap penting usaha ini dan tidak mengharap-kan
sebagai ternak penghasil daging. Dengan demikian, kualitas sapi yang
dipelihara maupun kualitas daging yang dihasilkan tentu saja sangat
diragukan. Upaya meningkatkan kualitas ternak maupun dagingnya sangat
sulit dicapai karena sebagian besar masyarakatpun tidak menuntut
standard tinggi tentang kualitas daging. Akhirnya, hal ini seperti
lingkaran setan. Di satu sisi, peternak didorong untuk memelihara sapi
secara lebih modern sehingga usaha peternakan dapat menjadi penghasilan
pokoknya, di sisi lain masyarakat berharap memperoleh daging sapi dengan
harga murah tanpa mempertimbangkan kualitasnya.
Namun demikian,
apabila pola kebijakan pengembangan sapi potong masih berorientasi pada
pola peternakan rakyat dengan ciri-ciri tersebut di atas, sulit untuk
memenuhi kebutuhan daging di Indonesia dengan mengandalkan dari ternak
lokal. Skala usaha peternakan harus ditingkatkan sampai jumlah minimum
yang hasilnya layak untuk digunakan sebagai usaha pokok kehidupan
peternak. Ini akan dapat dicapai dengan adanya dukungan modal, sistem
kelembagaan dengan pola kerjasama kemitraan, dan input teknologi. Dengan
demikian, usaha peternakan dapat dikelola secara lebih profesional
dengan tetap berbasis pada keterlibatan masyarakat sehingga akan
menjadikan usaha ternak sapi potong sebagai industri peternakan modern
yang menghasilkan produk berkualitas.
Kumpulan Pemikiran
Peternak
yang saat ini mengembangkan usaha peternakan rakyat dirangsang untuk
meningkatkan skala usahanya, dengan campur tangan pemerintah atau swasta
dalam hal penyediaan perangkat pendukungnya. Dalam hal ini kerjasama
antara pemerintah, sektor swasta, perbankan dan asosiasi menjadi sangat
penting untuk mencapai keberhasilannya. Namun satu hal terpenting adalah
kualitas peternak itu sendiri. Perlu seleksi yang sangat ketat terhadap
peternak yang akan ditingkatkan skala usahanya. Untuk ini perlu
disiapkan sistem seleksi terhadap peternak, yang dapat saja melibatkan
perguruan tinggi atau asosiasi untuk merancangnya.
Karena peternak
menjadi subjek utama terhadap keberhasilan pengembangan industri
peternakan sapi potong, peningkatan kualitas peternak mutlak harus
dilakukan. Peningkatan keahlian dan keterampilan peternak harus
diprogramkan secara sistematis dan terarah yang mencakup semua aspek
manajemen on farm sejak fase pra produksi, produksi maupun masa panen,
serta aspek pengelolaan produk pasca panen dan pemasaran. Sistem
agroindustri dalam usaha ternak potong harus dikuasai secara baik oleh
peternak sebagai pelaku utama.
Peningkatan Interaksi Antara Peternak
dan Lembaga Penelitian
Hampir
semua menyadari bahwa selama ini industri peternakan dan lembaga
penelitian (termasuk perguruan tinggi) tidak berjalan secara beriringan.
Praktisi peternakan (peternak) dan peneliti bidang peternakan berjalan
menurut relnya masing-masing. Peneliti melakukan suatu penelitian
menurut kepakarannya yang bersifat ilmiah tetapi tidakmenyentuh apa yang
dibutuhkan peternak, sedangkan peternak sendiri enggan untuk
berkomuni-kasi dengan peneliti karena perbedaan latar belakang
pendidikan. Ditambah dengan masalah kultur masyarakat Indonesia yang
cenderung mengelom-pok pada masing-masing komunitasnya, semakin dalam
jurang pemisah antara peternak dan peneliti
Fenomena tersebut, yang
terasa semakin menghilang sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi, harus
dieliminir secara menyeluruh. Perpaduan antara potensi peneliti dengan
latar belakang pendidikan formal tinggi (berwawasan keilmuan luas)
dengan potensi peternak yang berlatar belakang pengalaman praktis pada
lingkungan khas Indonesia akan menghasilkan teknologi tepat guna yang
benar benar aplikatif bagi upaya pengembangan industri peternakan sapi
potong di Jawa Barat khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Kekhususan
pada Jawa Barat sangatlah beralasan karena di propinsi ini terdapat
tiga perguruan tinggi negeri ternama masing-masing Institut Pertanian
Bogor, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjadjaran; dan
puluhan lembaga penelitian yang bergerak di bidang pertanian dalam
Dr. Ir. Muladno, MSA
arti
luas (termasuk peternakan). Balai Inseminasi Buatan Lembang, Balai
Embrio Transfer Cipelang, Balai Penelitian ternak Ciawi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, dan masih banyak lagi.
Semakin gencarnya
promosi pemerintah tentang pentingnya Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
juga mendorong peneliti untuk lebih memfokus-kan penelitiannya pada
hal-hal praktis yang benar-benar dibutuhkan masyarakat pengguna.
Penelitian yang dikerjakan dan dihasilkannya bersifat aplikatif dan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini tentu saja membuka interaksi
yang lebih intensif antara peneliti di lembaga penelitian/ perguruan
tinggi) dengan peternak. Keduanya (peneliti dan peternak) harus saling
proaktif untuk meciptakan temuan yang sesuai kebutuhan di lapangan.
Dengan demikian, tidak akan ada lagi hasil penelitian yang berakhir di
rak buku atau perpustakaan, tetapi akan dihasilkan teknologi yang
aplikatif bagi masyarakat pengguna.
Pewilayahan Perbibitan
Penampilan
suatu ternak merupakan representasi dari potensi genetiknya apabila
seluruh faktor non-genetiknya dibuat seragam. Dengan demikian perbedaan
penampilan antar ternak di dalam populasi juga merupakan representasi
perbedaan genetik. Oleh karena itu, untuk keberhasilan pengembangan
ternak bibit, penentuan wilayah yang dapat memenuhi syarat bagi
pertumbuhan optimal ternak sapi potong dalam suatu lingkungan yang
relatif seragam menjadi sangat penting.
Dalam konteks pengembangan
ternak bibit di Jawa Barat, informasi tentang potensi wilayah yang
memenuhi kriteria kestabilan faktor-faktor non-genetiknya (atau dapat
dikatakn sebagai faktor lingkungan) meliputi daya dukung lahan,
kecukupan ketersediaan pakan secara berkelanjutan, sumberdaya peternak,
dan kultur masyarakatnya.
a. Daya dukung lahan pengembangan ternak
bibit lebih dititik-bertakan pada kondisi alam dan lokasi peternakan.
Topografi lahan yang menyangkut posisinya dari permukaan laut terkait
dengan suhu, kelembaban udara dan jenis tanaman alam yang tumbuh secara
alami. Selain itu jenis permukaan tanah (berbukit, bergunung, dataran
rendah, dataran tinggi) perlu mendapat perhatian. Berkaitan dengan
lokasi pemeliharaan, yang terpenting adalah bahwa lokasi yang akan
digunakan tidak bertentangan dengan kepentingan umum masyarakat
setempat; terjaminnya sistem pengelolaan limbah sehingga tak mencemari
lingkungan; dan tidak bertentangan dengan tata ruang daerah.
tidakdifokuskan kepada jenis tanah yang layak untuk pemeliharaan ternak
atau dapat merupakan suatu luasan lahan yang tersedia penyakit ternak
yang mungkin endemik di daerah Jawa Barat
Kumpulan Pemikiran
dan
karakteristik geografi wilayahnya harus tersedia sehingga investor
merasa yakin dan optimis akan keberhasilannya dalam menanam investasinya
di industri perbibitan sapi potong.
b. Ketersediaan pakan harus
ditinjau dari aspek kuantitas dan kualitas. Pakan merupakan salah satu
faktor kunci untuk keberhasilan pengembangan ternak sapi bibit. Beberapa
hal yang terkait dengan kecukupan pakan adalah: jenis pakan hijauan
yang dapat ditanam di wilayah pengembangan; jumlah pakan yang dibutuhkan
per ekor sapi harus tersedia sepanjang tahun. Teknologi penyimpanan
pakan perlu dikembangkan untuk mengantisipasi kemarau panjang yang
sering terjadi; pakan konsentrat yang bahan utamanya biasanya by-product
pertanian menuntut agar wilayah pengembangan seharusnya berdekatan
dengan wilayah pertanian.
c. Sumberdaya peternak, tidak dapat
dihindari, merupakan subjek utama atas keberhasilan pengembangan usaha
ternak bibit. Dalam melakukan pembinaan terhadap peternak atau rekrutmen
peternak baru yang dipersiapkan menjadi pelaku-pelaku industri
peternakan, tingkat keterampilan, motivasi tinggi untuk
mengembangkan/meningkatkan produktivitas ternak serta pengetahuan
tentang budidaya peternakan seharusnya menjadi acuan dalam membuat
kriteria penentuan peternak yang perlu dibina atau peternak baru yang
akan disiapkan menjadi pelaku industri peternakan.
d. Kultur
masyarakat merupakan faktor penting yang harus dipertimbang-kan dalam
menentukan wilayah pengembangan ternak sapi bibit. Walaupun dalam hal
ini ada kecenderungan tidak menimbulkan masalah bagi masyarakat Jawa
Barat sebagaimana biasanya terjadi pada babi, kajian dan evaluasi
terhadap kultur masyarakat tetap perlu dilakukan untuk menghindari
berbagai hal yang tidak diinginkan.
e. Berkaitan dengan upaya
pengendalian dan pencegahan penyakit ternak sapi potong, penentuan
wilayah yang bebas penyakit (khususnya yang menular) harus
diprioritaskan untuk keberhasilan usaha perbibitan sapi.
Dukungan Lembaga Keuangan/Perbankan
Dalam
pengembangan industri peternakan sapi potong, modal merupakan satu
sumberdaya penting. Apalagi untuk investasi dalam usaha perbibitan sapi
potong serta pembukaan kawasan baru untuk agroindustri sapi potong.
Kebijakan khusus dalam permodalan harus diberlakukan untuk merangsang
investor mau berinvestasi di usaha perbibitan yang tampaknya kurang
menarik dibanding usaha penggemukan karena biaya proses produksi yang
lebih mahal. Tidak seperti usaha penggemukan yang hanya
Dr. Ir. Muladno, MSA
memerlukan
proses produksi tidak lebih dari tiga bulan, usaha perbibitan
memerlukan waktu produksi yang lebih lama dengan pengelolaan yang lebih
kompleks. Dalam upaya membuka kawasan baru usaha sapi potong, pola
kerjasama inti-plasma yang selama ini juga berjalan untuk usaha ternak
unggas merupakan model pengembangan yang sesuai bila dikaitkan juga
dengan masalah permodalan. Petani peternak sebagai plasma dilibatkan
dalam kepemilikan saham dalam perusahaan inti. Besarnya saham yang
dimiliki didasarkan pada kontribusi awalnya dalam membuka kawasan baru
usaha tersebut. Pola pengembangan yang melibatkan petani peternak
terampil dan bermotivasi tinggi akan, bila berhasil, akan memacu
pembentukan atau pembangunan idustri pendukung lain seperti industri
pakan ternak, rumah potong hewan, fasilitas pemasaran, infrastruktur
serta berbagai fasilitas lain yang memudahkan interaksi antara produsen
dan konsumen produk usaha sapi potong.
Integrasi antar Subsistem Agribisnis Sapi Potong
Sebagaimana
telah disinggung di depan, untuk kondisi wilayah dan kultur masyarakat
Indonesia, industri peternakan sapi potong (khususnya perbibitan) perlu
melibatkan dan mengaitkan kerjasama dengan petani peternakan rakyat
dimana keberadaan dan peran peternak rakyat merupa-kan satu subsistem
dalam suatu sistem agribisnis sapi potong. Dalam hal ini peran peternak
hanya ditekankan pada pengelolaan secara teknis dalam budidaya, dengan
pembinaan dan pengawasan dari perusahaan inti. Di lain pihak, perusahaan
inti yang juga merupakan salah satu sub-sistem lain dalam satu mata
rantai agroindustri, lebih menitik beratkan pada pengen-dalian mutu,
yang mana hal ini membutuhkan manajemen perusahaan yang kuat dan
profesional, penerapan teknologi yang tepat sehingga diperoleh efisiensi
usaha yang tinggi. Untuk membantu kegiatan perusahaan inti, susb-sistem
lain juga harus dibangun yang bergerak sebagai pemasok berbagai
kebutuhan dalam proses produksi mulai dari pasokan pakan, pasokan
bakalan, pasokan teknologi, jasa transportasi dan lain lain. Dalam
membangun sub-sistem ini (pasokan berbagai faktor produksi), petani
peternak dapat dilibatkan sebagaimana yang terjadi di dalam pola PIR
selama ini.
Tanpa harus meninggalkan keterlibatan petani peternak,
upaya membangun industri peternakan sapi potong yang sarat modal dan
sarat teknologi juga perlu dipikirkan. Apabila teknologi feedlot telah
lebih dahulu dikuasai atas kerjasama dengan pihak luar negeri seperti
Australia, perlu dipikirkan juga masukan teknologi perbibitan dengan
pola kerjasama dengan pihak luar negeri juga. Hal ini dalam rangka
mempercepat terwujudnya industri peternakan sapi potong yang tangguh.
Kumpulan Pemikiran
Yang
perlu dipertimbangkan juga dalam agribisnis peternakan sapi potong
adalah masalah pemasaran. Ini harus dikaitkan dengan proses pengolahan
dan pengendalian mutu daging sapi. Sedikitnya ada tiga hal pokok yang
perlu menjadi perhatian, yaitu: (a) pola konsumsi pasar daging sapi di
dalam negeri; (b) kebutuhan noma standard daging sapi untuk memenuhi
pasaran daging berkualitas di dalam dan di luar negeri; (c) kebutuhan
infrastruktur pelengkap untuk memenuhi norma-norma standard daging
berkualitas.
sumber : Klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar